Menjawab Kontroversi Kelahiran Filsafat Di Yunani
Bermain-main dengan filsafat bak
bermain dengan bayang-bayang, semu dan tidak jelas. Filsafat tidak lebih dari
sekedar ilmu yang mengawang-ngawang. Mengawang bisa berarti terlalu tinggi dan
rumit, hingga tidak mudah dicerna oleh kebanyakan orang. Di sisi lain mengawang
juga diartikan tidak realistis, konyol dan kegiatan orang yang kurang kerjaan.[1] Maka
tidak heran jika mayoritas manusia cenderung menyibukkan diri dalam aktivitas
dunia yang materalis dan praktis dibanding berfilsafat.
Rupanya isu tentang naik-turunnya
nilai tukar rupiah dan kemelut suasana politik terdengar lebih menarik bagi
mereka. Filsafat sebagai kegiatan nalar untuk menyingkap tabir ambiguitas
segala sesuatu tidak lebih dari sekadar omong kosong. Sehingga dari sekian banyak
orang, hanya segelintir yang hendak menaruh perhatian lebih pada filsafat.
Padahal darinya lah pola pikir radikal, spekulatif, dialektis dan sistematis
terbentuk. Hingga akhirnya, sejarah mengafirmasi pengaruh besar filsafat terhadap perubahan kehidupan dan peradaban umat manusia.
Membincang
tentang kelahiran filsafat itu sendiri, sampai saat ini masih problematik. Hal tersebut
dimulai sejak olok-olokan semacam “Kamu orang Timur! Kamu orang
Barat!” memanas dalam perbincangan akademisi. Jika
dulu kita mengenal Timur dan Barat sebagai arah mata angin, tampaknya kini
berubah menjadi lambang perseteruan dua kebudayaan bak dua mata pedang yang
beradu. Tidak jelas siapa yang memulai, nyaris keduanya tidak lagi dipahami
dalam konteks geografis, namun mengarah ke dalam konteks pemikiran, kebudayaan
dan pandangan hidup (world view).
Berbicara
mengenai world view tentu tidak akan lepas dari fisafat sebagai kegiatan
berpikir secara mendalam. Sedangkan berpikir adalah hal pokok yang tanpanya
seorang manusia tidak bisa disebut manusia, karena berimbas pada terbentuknya
pandangan hidup manusia itu sendiri. Berangkat dari konsep penyebutan Barat dan
Timur sebagai cara pandang tentu akan menyinggung konsep dasar pembentuk wajah
dan corak peradaban keduanya. Jika Barat erat kaitannya dengan Yunani sebagai
nenek moyang mereka sebab banyak ditemukan persamaan baik dalam pemikiran dan
hasil kebudayaan, lantas bagaimana dengan Timur dengan peradaban Islamnya? Di sini
kita seolah-olah menemukan indikasi keterpengaruhan suatu bangsa oleh bangsa
lain untuk dapat disebut induk peradaban atau tidak.
Yunani jamak
dikenal sebagai nenek moyang filsafat. Jika kita mengetahui filsafat sebagai dasar
dari pandangan hidup seseorang, kemudian peradaban, maka apakah Yunani sendiri bisa
menelurkannya tanpa pengaruh bangsa lain? Yang kemudian memberikan makna
penciptaan filsafat itu sendiri. Namun bagaimana dengan bangsa-bangsa Timur
yang konon memiliki peradaban lebih tua dari Yunani? Sampai saat
ini sejarah kelahiran filsafat menjadi polemik yang saling berseteru dan adu
klaim antara Barat dan Timur.
Karena mempertanyakan segala sesuatu
merupakan kodrat bawaan manusia yang harusnya tidak dibatasi oleh apapun, membuat
adu klaim kelahiran filsafat—sebagai kerja kodrat tersebut— menjadi semakin
pelik. Ketika Barat mengklaim filsafat lahir di Yunani, akademisi Islam juga
membantah bahwa peradaban Timur sebelum Yunanilah yang lebih dulu berfilsafat. Berangkat dari problematika dan
latar belakang demikian, tulisan ini mencoba
menguak kontroversi historis kelahiran filsafat di Yunani berikut pengaruhnya
pada peradaban setelahnya. Setelah berusaha menjawab kontroversi kelahiran
filsafat di Yunani, penulis juga berupaya memberikan jalan tengah yang bisa memadukan
berbagai adu-klaim filsafat di Yunani atau di Timur.
Dunia Mitologi Yunani
Secara historis, kata “filsafat” atau “filsuf” berasal
dari kata-kata Yunani philoshopia atau philoshopos yang terdiri
dari dua kata yakni philo dan shopia. Philo berarti cinta,
sedangkan shopia adalah kebijaksanan.[2] Terdapat
perbedaan di kalangan sejarawan tentang siapakah yang pertama kali menggunakan
istilah ini. Pertama, sebagian mereka mengatakan bahwa Sokrates lah yang
pertama kali menggunakan istilah filsafat, karena pada zaman Plato istilah ini kerap
digunakan untuk membedakan filsuf dan kaum sofis.[3] Kedua,
klaim bahwa Phytagoraslah yang pertama kali memakai istilah filsafat
sekaligus mengartikan sebagai pencarian hakikat segala sesuatu.[4]
Pemilihan kata “pencinta kebijaksaan” menggantikan
“orang bijaksana” dianggap tepat bagi masyarakat Yunani pada waktu itu. Karena
menurut mereka, seseorang yang mempunyai
kebijaksanaan secara definitif, ia telah melampaui batas-batas yang ditentukan
nasibnya sebagai manusia. Memiliki kebijaksaan berarti mencapai status
adimanusiawi.[5]
Sifat demikian itu dipandang sebagai bentuk kesombongan yang selalu dihindari
masyarakat Yunani pada waktu itu. Maka tidak aneh bagi seorang filsuf jika
kegiatan berfilsafat dimaknai sebagai kegiatan yang tiada berkesudahan.
Walaupun secara umum filsafat lahir dan mendapat
perhatian besar dari masyarakat Yunani, ia tidak serta-merta lahir dalam wujud
yang benar-benar matang seperti sekarang. Sekitar abad ke 6 SM, filsafat masih
berupa embrio rasionalitas manusia. Ia tumbuh dengan menggunakan akal sebagai
alat analisa dalam mengukur kebenaran mitos-mitos yang tertanam kuat sejak lama.
Mitos yang saat itu merupakan satu-satunya jawaban atas berbagai persoalan yang
diajukan manusia perihal alam semesta.
Mitos tidak sekedar cerita mengenai dewa-dewa, lebih dari itu,
ia bertugas untuk menjelaskan mengapa kehidupan di dunia berjalan seperti
adanya. Mereka meyakini adanya kekuatan di luar alam fisik yang berhubungan
dengan berbagai kejadian alam berikut sifat-sifatnya. Kekuatan inilah yang
kemudian mereka gambarkan ke dalam rupa dewa-dewa menurut daerah setempat. Tidak
hanya Yunani, keyakinan serupa juga berkembang di peradaban-peradaban lain di
berbagai perjuru dunia. Sehingga tiap-tiap daerah memiliki corak mitologinya masing-masing.
Sedangkan mitos-mitos Yunani berkembang dan terjaga
lewat aktivitas keilmuan dan sastra yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ide
yang disajikan kerap menggambarkan aktivitas dewa-dewa yang berhubungan dengan
kejadian alam. Contoh sederhananya adalah pelangi, dalam kepercayaan mereka
pelangi dipercaya sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa
lain.[6] Sementara
dewa-dewa lain seperti Zeus, Apollo, Hera dan Athena memiliki peran yang
berbeda satu sama lain. Nama-nama mereka sebagian besar diambil dari tokoh
pahlawan Perang Troya.
Perang Troya adalah penyerbuan pasukan Akhaia (Yunani)
terhadap Kota Troya yang terletak di Asia Kecil pada abad ke 13 atau 12 SM.
Perang ini merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam kepercayaan mereka
yang diceritakan di banyak karya sastra. Salah seorang penyair masyhur waktu
itu, Homeros dengan dua karya fenomenalnya yang berjudul Illias dan Odyssea
menceritakan tentang kejadian perang ini. Illias mengisahkan bagian
tahun terakhir pengepungan Troya, sedangkan Odyssea menceritakan
perjalanan pulang Odisseus, salah seorang pemimpin Akhaia. Karya-karya serupa
memiliki kontribusi yang besar sebagai alat pendidikan dan kontrol sosial
masyarakat Yunani pada waktu itu. Peranannya yang besar bisa dianalogikan sebagaimana
peranan wayang dalam kebudayaan Jawa.[7]
Mitos Versus Logos
Keistimewaan Bangsa Yunani
dibanding bangsa lain adalah ketidakpuasan mereka terhadap mitos-mitos sebagai
jawaban atas beragam pertanyaan di kepala mereka. Berbagai upaya digalakkan
guna menyusun mitos-mitos yang ada untuk dijadikan suatu keseluruhan yang
sistematis. Dalam perkembangannya, Bangsa Yunani memiliki kecenderungan untuk
memeriksa mitos-mitos tersebut dan menyelaraskannya dengan akal pikiran. Mereka
mengamati kejadian-kejadian umum untuk berusaha mencari keterangan dibalik
terjadinya berbagai peristiwa. Dapat disimpulkan, dalam usaha-usaha tersebut
tampaklah sifat rasional Bangsa Yunani yang menjadi cikal bakal pergumulan
panjang antara mythos dan logos sebagai awal kelahiran filsafat.
Walaupun realitanya mitos telah
memberi sumbangsih yang besar terhadap aktivitas moral Bangsa Yunani, agaknya sebagian
besar mitos dirasa tidak sejalan dengan akal pikiran mereka. Hingga pada abad
ke 6 SM, suatu pendekatan baru muncul dalam memahami keterkaitan mitos dengan
kejadian alam, problematika yang muncul dicari jawabannya melalui jalan
rasional dengan menyeleksi mitos-mitos yang selaras dengan akal atau tidak. Logos
(akal, budi atau rasio) memiliki peran penting untuk menggantikan mitos, walaupun
ia tidak ditinggalkan seluruhnya.
Masa ini ditandai dengan
munculnya filsafat alam dengan tokohnya Thales yang mempertanyakan asal-muasal
alam semesta terbentuk. Idenya tentang prinsip dasar alam memantik dan berpeluang
besar (dalam kerja kritik) untuk menyongsong kelahiran filsuf lain, dan begitu
seterusnya. Karena satu jawaban akan menampilkan pertanyaan-pertanyaan lain
yang lebih spesifik, dan satu keterangan akan menuntut timbulnya keterangan
lain. Oleh karena itu, geliat aktivitas ilmiah di alam Yunani mengalami
perkembangan yang pesat pada waktu itu.
Berangkat dari hal di atas,
filsafat yang merupakan aktivitas berpikir secara mendalam mulai mewarnai corak keilmuan Yunani. Ia
dengan sifat-sifatnya tidak dapat disebut sebagai cabang dari ilmu pengetahuan,
namun induk ilmu pengetahuan itu sendiri. Baru berangsur-angsur dalam sejarah
kebudayaan, ilmu pengetahuan satu demi satu akan melepaskan diri dari filsafat
supaya memperoleh otonominya. Bahkan J.Burnet dalam bukunya “Early Greek
Philosophy” mengatakan “Adalah suatu penggambaran yang tepat mengenai
ilmu pengetahuan, bila dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah berpikir tentang
dunia dengan gaya Yunani.”[8]
Faktor Kelahiran Filsafat di Yunani
Tampaknya bukan saja nama filsafat yang diambil dari
Bangsa Yunani, faktor-faktor lahirnya filsafat pada waktu itu berkaitan erat
dengan keistimewaan Bangsa Yunani dibanding bangsa lain. Secara umum, faktor
lahirnya filsafat di Yunani dapat diringkas dalam 3 hal yang telah ada jauh
sebelum filsafat lahir. Seolah-olah tengah mempersiapkan kelahirannya. Pertama,
mitologi sebagai perintis yang mendahului filsafat. Sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, sikap rasional Bangsa Yunani dalam memilah mitos, menghasilkan
suatu sistem berpikir yang unik dengan menyingkirkan berbagai kepercayaan irasional.
Kedua, pengaruh
kesusastraan Yunani dalam pendidikan moral dan kontrol sosial pada masa itu.
Dua maha karya karangan Homeros yang berjudul Ilias dan Odyssea memiliki
kedukan istimewa dalam kesustraan tersebut. Syair-syair semacam ini telah lama
digunakan semacan buku pendidikan untuk rakyat. Berkat andilnya yang begitu
besar, kesustraan Yunani dapat disandingan sebagaimana peran wayang dalam
kehidupan masyarakat Jawa. Ketiga, adanya persinggungan budaya dan
pengaruh ilmu pengetahuan dari Timur Kuno. Namun andil dari bangsa lain dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di Yunani tidak boleh dilebih-lebihkan, karena
mereka mengolah unsur-unsur yang ada (dari bangsa lain) untuk menghasilkan
corak baru dalam ilmu pengetahuan dengan
benar-benar ilmiah dan independen.
Peran Polis dalam Kelalahiran Filsafat
Selain faktor mitologi, karya sastra dan pengaruh ilmu
pengetahuan bangsa lain, sistem kehidupan masyarakat Yunani yang unik turut mendukung
kelahiran filsafat. Mereka hidup dibawah polis-polis yang memiliki nomos atau
peraturannya sendiri. ‘Polis’
adalah suatu negara kecil atau negara kota. Disadari atau tidak, sistem ini memiliki keunggulan jika
dibandingkan dengan sistem pemerintahan oligarki dan depotisme yang berkembang
di Timur Kuno. Seorang penguasa harus bertanggung jawab terhadap dewa menurut
kepercayaan polisnya, sehingga bentuk pemerintahan tirani jelas ditolak. Sistem polis ini timbul sebagai suatu sistem sosial-masyarakat,
baru sekitar abad ke 8 dan 7 SM, Yunani menjadi suatu negara yang terdiri dari
ratusan polis. Suatu polis melingkupi satu kota, tetapi mungkin pula beberapa
desa. Plato mengatakan bahwa polis yang ideal hendaknya tidak melebihi 5000
warga negara. Meski demikian, ada pula yang jumlah warga negaranya melebihi
20.000 jiwa.[9]
Karakteristik sistem polis, antara lain:
1. Polis sebagai lembaga politik
Polis sebagai lembaga politik dapat ditandai oleh
ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Otonomi: Memiliki hukum atau nomos sendiri. Seorang
peletak hukum dalam suatu polis dianggap sebagai pendiri polis tersebut.
Seorang Yunani merasa bangga hidup di
bawah hukum polisnya dan membenci
segala bentuk kesewenang-wenangan. Seorang penguasa tidak memiliki kekuasaan
mutlak seperti di kerajaan Timur Kuno, melainkan bertanggung jawab kepada
dewa-dewa setempat.
b.
Swasembada: Masyarakat Yunani tidak bergantung pada
negara lain dalam bidang ekonomi atau ekonomi protektif. Walaupun sistem ini
tidak selalu dapat terealisasikan, namun tetap merupakan suatu ideal hakiki
untuk polis Yunani.
c.
Kemerdekaan: Lembaga-lembaga terpenting dalam politik
di Yunani adalah sidang umum (ekklêsia), dewan harian (bulê) dan
badan-badan pengadilan (dikastêria). Dalam sidang umum semua warga
negara berhak mengambil bagian. Apabila sidang umum dalam suatu polis dominan,
berarti hal serupa boleh disebut demokrasi.
2. Polis sebagai latar belakang
timbulnya filsafat
Ciri-ciri polis sebagai latar belakang timbulnya
filsafat antara lain:
a.
Logos
mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat Yunani. Logos bisa berarti rasio atau bahasa. Walaupun bahasa
bukan dianggap sebagai sesuatu yang sakral dalam polis, namun bahasa berperan
penting sebagai alat politik.
b.
Suasana kehidupan sosial Bangsa Yunani yang bersifat
umum serta terbuka. Kepentingan negara merupakan kepentingan umum dan tidak boleh
dirahasiakan. Dan apapun yang berkaitan dengan negara harus melibatkan warga
negaranya.
c.
Semua warga negara sederajat dan berhak mengambil
bagian dalam urusan negara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa situasi sosial yang diciptakan Bangsa Yunani memiliki
keistimewaan di atas bangsa-bangsa lain. Penghormatan Bangsa Yunani terhadap logos
dan kemerdekaan warganya berandil besar dalam melahirkan banyak tokoh filsuf
yang tersohor hingga saat ini. Kebebasan berekspresi dan berpikir mendorong
timbulnya sikap ilmiah warganya sehingga ilmu pengetahuan dapat diakses oleh semua
lapisan masyarakat. Berbeda dengan Bangsa Timur Kuno yang membatasi akses
penyebaran ilmu hanya untuk kalangan bangsawan. Oleh sebab itu, polis merupakan
pilihan tepat dalam menciptakan situasi sosial dimana filsafat dan ilmu
pengetahuan dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Kontroversi Kelahiran Filsafat di Yunani
Pada dasarnya manusia memiliki
fitrah untuk berfilsafat. Mereka dibekali akal untuk mempertanyakan berbagai kejadian
dan menyimpulkan kebenaran melalui pengalaman berpikir dan analisanya. Dalam
mitologi contohnya, mitos yang umum dikaitkan dengan takhayul dan legenda tidak
serta-merta ada. Manusia menciptakan mitos untuk menjawab berbagai pertanyaan
tentang alam sekaligus menjadi kontrol sosial. Contoh sederhananya, mitos
tentang siapa yang menyapu lantai tidak bersih maka pasangannya kelak akan brewokan.
Tentu hal ini tidak rasional, namun takhayul semacam itu digunakan orang
dulu dalam menasehati anak-anak mereka untuk mencintai kebersihan. Jika mitos
dipahami seperti ini tentu ia akan menjadi rasional. Hal ini menunjukkan betapa
cerdasnya orang dulu mengajarkan nilai-nilai kebaikan secara filosofis.
Menariknya, perbedaan mitos-mitos
yang berkembang antar bangsa berimbas pada corak filsafat yang mewarnainya.
Sehingga sulit untuk menentukan dimana tepatnya filsafat lahir. Anggapan
pertama menyatakan bahwa filsafat lahir di India pada abad ke 18 SM. Beberapa
yang lain mengatakan bahwa ia ditemukan oleh Bangsa Cina pada abad ke 6 SM.
Namun Bangsa Mesir Kuno juga dianggap sebagai penemu filsafat, karena banyak
filsuf-filsuf Yunani yang datang ke Mesir untuk belajar disana.[10]
Ringkasnya, beberapa ahli mengatakan bahwa filsafat telah ditemukan oleh Bangsa
Timur Kuno jauh sebelum Bangsa Yunani.
Sedang anggapan kedua mengatakan
bahwa filsafat lahir di alam Yunani. Orang yang mengatakan hal ini adalah Plato
pada abad ke 4 SM.[11] Filsuf-filsuf
Yunani pertama seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes disebut sebagai
pelopor filsafat pertama yaitu Filsafat Alam. Tujuan filsafat mereka adalah
mencari jawaban atas kejadian-kejadian alam secara rasional. Pendapat ini
dibenarkan oleh sebagian besar sejarawan dan mengatakan bahwa “Bahwa Bangsa
Yunani lah yang menciptakan ilmu
matematika, pengetahuan alam dan filsafat, bukan Bangsa Timur Kuno.”[12]
Kedua pendapat ini dapat disatukan dan diambil jalan tengah dengan meninjau kembali definisi filsafat. Apabila filsafat
diartikan sebagai cara berpikir mengenai alam beserta hakikat di belakangnya,
baik dipengaruhi kepercayan dan hikayat-hikayat kuno atau tidak, maka filsafat
lahir di Timur Kuno. Namun jika dipandang sebagai pengetahuan yang rasional secara konseptual dan sitematis maka Bangsa Yunani lah yang menciptakan.[13] Maka
jelas, kontroversi mengenai kelahiran filsafat tidak akan pernah usai sebelum
memahani perbedaan filsafat sebagai pandangan hidup dan suatu cabang
pengetahuan.
Yunani; Nenek Moyang Barat atau Timur ?
Pandangan hidup suatu bangsa menentukan wajah dan
corak peradabannya. Maka perbedaan karakteristik Barat dan Timur tentu
berimplikasi pada perbedaan pandangan hidup (worldview) yang
mendasarinya. Barat yang identik dengan
gaya hidup super liberal ala negara-negara Eropa-Amerika dan sedang Timur yang
erat digambarkan sebagai kebudayaan Islam tentu berbeda cara pandang. Lalu
benarkah klaim bahwa Yunani nenek moyang Barat, sedang Timur berdiri dengan
sendirinya?
Walaupun pengaruh Filsafat Yunani
terhadap Kebudayaan Barat sangat besar.
Namun beberapa sejarawan berselisih tentang kebenaran Yunani sebagai nenek
moyang Barat. Berangkat dari pendapat bahwa akar kebangkitan filsafat dan sains
di Barat merupakan warisan intelektual Yunani, Jones dalam “A History of
Western Thought” mengangap bahwa sejarah kebudayaan Barat bermula dari Filsafat
Yunani yang dimulai pada abad ke 6 SM dengan tokohnya Thales. Maka konsekuensinya
Barat dapat dianggap sebagai plagiator konsep dan ide-ide Yunani. Sayangnya,
penulis menganggap pendapat ini lemah, karena sekedar melacak persamaan antara dua
peradaban atau lebih, serta tidak berimplikasi pada anggapan bahwa yang satu
berasal dari yang lain. Dengan kata lain, suatu pemikiran bangsa manapun yang selaras dengan
pemikiran Yunani tidak boleh dianggap berasal dari Yunani. Maka perlu
digarisbawahi bahwa persamaan tidak selamanya berimplikasi pada asal-usul.
Jika Ionia dianggap sebagai
tempat lahirnya Kebudayaan Barat, maka seharusnya pemikiran Yunani lahir dan
terus berkembang di sana hingga abad modern. Apabila suatu peradaban tidak lagi
tumbuh, maka ia dianggap mati. Dalam kasus Yunani, usai berakhirnya zaman kuno
oleh Aristoteles, di sana tidak ada lagi perkembangan yang berarti khususnya
dalam bidang filsafat dan sains. Dari periode ini, Barat mengalami masa-masa
sulit yang disebut dengan Zaman Kegelapan (the Dark Ages) yang berarti
keberlangsungan filsafat Yunani terputus. Disinilah mungkin alasan beberapa
sejarawan Barat menolak Yunani sebagai tempat kelahiran Kebudayaan Barat.
Karena baru setelah Zaman Kegelapan berakhir, Barat memulai kebudayaannya
menuju Zaman Pencerahan (Renaissance). Jika pendekatan di atas tetap
digunakan, maka perlu ditelisik pula pemikiran lain yang mungkin mempengaruhi
terbentuknya Filsafat Barat pada waktu itu.
Berangkat dari uraian diatas,
keterpengaruhan Barat terhadap filsafat Yunani tetap tidak dapat dipungkiri.
Karya-karya dalam bidang seni, sastra dan politik banyak terpengaruh oleh alam
pemikiran Yunani. Di sisi lain, perlu diingat bahwa Timur (Islam) banyak mentransmisi keilmuan Yunani termasuk
filsafat pada masa-masa keemasannya. Bahkan mereka tidak segan mengkaji
teks-teks, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran
Islam. Aktivitas penerjemahan buku-buku
Yunani termasuk filsafat gencar dilakukan sejak zaman Dinasti Bani Abbasiyah.
Bahkan keberhasilan transmisi filsafat Yunani ke dunia Islam dapat ditandai
dengan munculnya pengkajian filsafat di sekolah-sekolah, masjid, universitas
dan perpustakaan.
Produk dari prores asimilasi ini
menghasilkan pemikiran baru yang boleh jadi berbeda dengan Filsafat Yunani.
Sehingga nama-nama seperti al-Ghazali, al-Farabi dan al-Kindi tidak kalah hebatnya dengan Plato atau Aristoteles
dalam bidang pemikiran. Namun sama halnya Barat, proses asimilasi ini tidak
boleh diartikan sebagai plagiasi yang berimplikasi pada asal usul, melainkan diartikan
sebagai kerjasama lintas peradaban dan kebudayaan yang akan menghasilkan hal
baru.
Baik Barat ataupun Timur
sama-sama terpengaruh oleh Filsafat Yunani. Namun persamaan pemikiran antara
keduanya tidak lantas boleh dimaknai
sebagai yang satu adalah induk yang lain. Karena sangat mungkin akal manusia melakukan
interpretasi terhadap pengalaman yang sama dengan cara yang sama pula. Sehingga
pengaruh suatu peradaban terhadap peradaban lain belum tentu berimplikasi pada
asal-mula peradaban tersebut. Sudah jelas bahwa penisbatan Yunani sebagai nenek
moyang Barat atau Timur tidak lebih sekadar apriori dan keputusan yang
tergesa-gesa.
Menyaksikan perkembangan filsafat ibarat menyimak perkembangan alam semesta dan kehidupan manusia. Dengan berfilsafat, seorang manusia akan memahami fungsi akal untuk mengantarkan mereka kepada kebenaran. Berikut filsafat sebagai pandangan hidup yang melahirkan pemikiran sebagai sumbu kehidupan suatu peradaban. Bahkan dalam mitologi-mitologi kuno, orang zaman dahulu menggunakan cerita-cerita khayalan yang bernilai filosofis untuk mengontrol keadaan sosial mereka. Maka tidak heran jika setiap bangsa memiliki filsafatnya masing-masing, yang merupakan induk dan hasil kebudayaannya sekaligus. Karena berfilsafat merupakan sifat kodrati manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan suku bangsa.
Walaupun secara umum belum dapat dipastikan jelas bangsa manakah yang pertama kali berfilsafat. Namun filsafat mendapatkan otonominya sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang sistematis baru pada Bangsa Yunani. Lalu pada perkembangannya, ia banyak diklaim sebagai nenek moyang suatu peradaban berkat pengaruhnya pada kultur dunia. Pada dasarnya, penyebutan Yunani sebagai nenek moyang Barat atau Timur dirasa kurang tepat sebab keduanya sama-sama mengasimilasi beberapa ide Yunani. Namun hal ini tidak boleh dipahami bahwa kesamaan ide berimplikasi pada asal usul, karena bisa jadi dua orang bahkan lebih memiliki interpretasi yang sama terhadap sesuatu. Maka hendaknya pertukaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan dipahami sebagai kerjasama lintas peradaban manusia.
Faktanya, baik Timur maupun Barat yang keduanya terpengaruh oleh Yunani memiliki karakterisktik yang begitu berbeda. Padahal harusnya mereka memiliki kesamaan yang mendasar karena bersumber pada satu titik. Hemat penulis, baik Timur maupun Barat memiliki beberapa kesamaan dengan Yunani yang harus dipandang secara bijaksana sebagai interaksi dan kerjasama antar kebudayaan bukan sebagai nenek moyang.
Menyaksikan perkembangan filsafat ibarat menyimak perkembangan alam semesta dan kehidupan manusia. Dengan berfilsafat, seorang manusia akan memahami fungsi akal untuk mengantarkan mereka kepada kebenaran. Berikut filsafat sebagai pandangan hidup yang melahirkan pemikiran sebagai sumbu kehidupan suatu peradaban. Bahkan dalam mitologi-mitologi kuno, orang zaman dahulu menggunakan cerita-cerita khayalan yang bernilai filosofis untuk mengontrol keadaan sosial mereka. Maka tidak heran jika setiap bangsa memiliki filsafatnya masing-masing, yang merupakan induk dan hasil kebudayaannya sekaligus. Karena berfilsafat merupakan sifat kodrati manusia yang tidak terbatas oleh waktu dan suku bangsa.
Walaupun secara umum belum dapat dipastikan jelas bangsa manakah yang pertama kali berfilsafat. Namun filsafat mendapatkan otonominya sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang sistematis baru pada Bangsa Yunani. Lalu pada perkembangannya, ia banyak diklaim sebagai nenek moyang suatu peradaban berkat pengaruhnya pada kultur dunia. Pada dasarnya, penyebutan Yunani sebagai nenek moyang Barat atau Timur dirasa kurang tepat sebab keduanya sama-sama mengasimilasi beberapa ide Yunani. Namun hal ini tidak boleh dipahami bahwa kesamaan ide berimplikasi pada asal usul, karena bisa jadi dua orang bahkan lebih memiliki interpretasi yang sama terhadap sesuatu. Maka hendaknya pertukaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan dipahami sebagai kerjasama lintas peradaban manusia.
Faktanya, baik Timur maupun Barat yang keduanya terpengaruh oleh Yunani memiliki karakterisktik yang begitu berbeda. Padahal harusnya mereka memiliki kesamaan yang mendasar karena bersumber pada satu titik. Hemat penulis, baik Timur maupun Barat memiliki beberapa kesamaan dengan Yunani yang harus dipandang secara bijaksana sebagai interaksi dan kerjasama antar kebudayaan bukan sebagai nenek moyang.
[1] Jostein
Gaarder, Dunia Sophie, cet. 4, Bandung: Mizan, th. 2018, h.13.
[2] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. 24, Yogyakata:PT
KANISIUS, th. 1999, h. 17.
[3] Muhammad Hamdi Zaqzuq, Ma’a al-Falsafah al-‘Ammah “Fi Ba’dhi Qodhôyâhâ al-Asâsiyah”, al-‘Alamiyah li
at-Thiba’ah, h. 9
[4] Ibid, h. 10.
[5] Kees Bertens, op. cit., h. 18.
[6] Ibid, h.22.
[7] Kees Bertens, op.cit, h.20.
[8] Ibid, h. 23.
[9] Op.cit, h.25.
[10] Al-Imam Sa’ad al-Dîn Mas’ûd bin ‘Umar al-Tiftâzânî, al-Tadzhîb
(al-Syarh al-Syaikh ‘Abîdillah bin Fadhlullah al-Khobîshî ‘ala Tadzhîb
al-Mantiq, Kairo, th. 2005, h. 5.
[11] Muhammad Hamdi Zaqzuq, op.cit, h.67.
[12] Ibid.
[13] Op.cit, h. 83.
Komentar
Posting Komentar