Filsafat Matematika Pythagoras; Corak Baru dalam Pemikiran Yunani
Dunia angka adalah dunia kepastian. Persoalan-persoalan yang erat kaitannya dengan dunia bentuk mampu dijawab olehnya secara pasti. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita lihat orang-orang menyukai uang, sebuah benda yang bernominal dan bisa dihitung dengan pasti. Selain itu, kita juga menjumpai saat memecahkan masalah, mereka lebih menginginkan jawaban yang pasti. Lahirlah ilmu angka dan ilmu bentuk yang keduanya disebut ilmu pasti (pure mathematics).
Jauh sebelum masa kelahiran ilmu tersebut, di Yunani terdapat filsuf yang telah lebih dulu memikirkan hal ini, ia mendasari filsafatnya dengan matematika dan menganggap bahwa segala-galanya adalah angka. Sehingga ia dikenal dengan julukan ‘bapak bilangan’, ialah Pythagoras.
Para filsuf alam yang mendahului Pytaghoras, telah berupaya memecahkan persoalan arkhe (asas) penyusun alam semesta. Thales yang mengganggap asas tersebut dengan air, Anaximandros dengan to apeiron, dan Anaximenes menganggap udara sebagai arkhe alam semesta. Namun Pythagoras berbeda, sebagai filsuf pra-Sokratik, ia lahir di Samos, Ionia pada 580-570 SM. Ionia sebagai daerah pertama di negeri Yunani yang mencapai kemajuan besar—baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang kultural, telah melahirkan filsuf-filsuf besar pra-Sokratik.
Seperti lumrahnya para filsuf terdahulu, Pythagoras tidak menulis pemikirannya dalam sebuah karya, sehingga tidak banyak kesaksian tentangnya. Begitupun, dengan murid-murid pertamanya. Akan tetapi, (menurut kesaksian dalam karya K. Bertens) pada 530 SM, ia pindah ke Kroton, Italia Selatan dan mendirikan tarekat keagamaan (Tarekat Pythagorean) di sana—bukti perbedaan Pythagoras dengan filsuf sebelumnya.
Tarekat Pythagorean turut memberikan sumbangsih dalam filsafat Pythagoras. Ia merupakan aliran religius yang tidak hanya menerapkan filsafat dalam pemikiran, bahkan ia lebih mengaplikasikan filsafat sebagai laku (a way of life). Sehingga untuk masuk ke dalamnya, seseorang harus melalui beberapa tahap yang harus ditempuh. Mulai dari masa percobaan, latihan dan beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan (Iamblikhos, abad ke-3 SM).
Bagi kaum Pythagorean, filsafat merupakan suatu cara agar manusia menjadi tahir (bersih, suci) dari reinkarnasi (perpindahan) jiwa. Tujuan filsafat—bagi mereka, agar manusia selamat dari reinkarnasi jiwa. Karena mereka percaya terhadap reinkarnasi jiwa saat kematian menjumpai.
Dalam empat baris sajak, Xenophanes (filsuf setelahnya) menceritakan tentang ajaran jiwa Pythagoras. Suatu kali, Pythagoras mendengar seekor anjing mendengking karena dipukul. Sontak ia menyuruh agar pukulan itu dihentikan, sebab menurutnya, dari dengkingan anjing itu, ia mendengar suara sahabatnya yang telah meninggal. Dari fenomena di atas, Pythagoras meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, jiwanya akan berpindah ke hewan. Namun, jika hewan itu mati, jiwa akan berpindah ke hewan yang lain. Dan terus terjadi seperti itu. Akan tetapi, reinkarnasi jiwa ini mampu dicegah dengan jalan penyucian jiwa (Tarekat Pythagorean). Fenomena dengkingan anjing itulah yang menjadi akar pijakan ajaran reinkarnasi jiwa tarekat Pythagorean.
Pada akhirnya, pengikut-pengikut Pythagoras berkembang menjadi dua aliran. Pertama, disebut Akusmatikoi; mereka yang mengindahkan penyucian dengan menaati peraturan tarekat. Kedua, Mathematikoi; mereka yang mengutamakan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pasti. Mayoritas mereka tersebar dalam pelbagai kota di Italia Selatan.
Kalau kita telisik lebih jauh, ajaran reinkarnasi jiwa Pythagoras ini telah terpengaruh dengan beberapa filsuf sebelumnya, lebih-lebih Thales; filsuf pertama yang memiliki ajaran “semuanya penuh dengan dewa-dewa”. Ajaran tentang dewa-dewa inilah yang kemudian mengilhami Pythagoras. Ia meyakini keberadaan jiwa dalam jasmani manusia—yang nantinya dikenal dengan adanya reinkarnasi jiwa, sebagai upaya pengembangan ajaran Thales yang masih sarat akan mitos.
Ajaran selanjutnya Pythagoras adalah tentang bilangan—yang bisa dibilang inti. Berawal dari sebuah pengandaian akan ritme dalam tangga nada musik yang bisa dibandingkan dengan angka-angka dalam bilangan. Dalam artian, setiap angka dalam bilangan, bisa dibandingkan dengan interval-interval utama dari tangga nada. Oktaf menunjukkan perbandingan 1:2, Kuint menunjukkan perbandingan 2:3, dan Kuart sesuai dengan perbandingan 3:4. Interval-interval ini menghasilkan angka 10 yang disebut tetraktys, sebuah istilah untuk abstraksi segitiga ajaran Pythagoras. Bahkan, kaum Pythagorean menganggap bilangan ini sebagai sesuatu yang keramat.
Dengan perbandingan di atas, matematika atau bilangan telah menduduki ajaran prinsipiel keseluruhan filsafat Pythagoras. Sehingga ia mengatakan segala-galanya adalah bilangan. Gejala fisis seluruh alam menurut Pythagoras dikuasai oleh matematika. Artinya, segala sesuatu yang berada di alam, mampu ditulis dengan bahasa matematika. Sehingga prinsip-prinsip yang dimiliki bilangan, juga dimiliki gejala fisis. Prinsip bilangan ganjil-genap, terbatas dan tak terbatas, misalnya, juga kita temui dalam dunia nyata. Dengan kata lain, alam semesta menurut pythagoras terdiri dari hal-hal yang berlawanan. Pengakuan yang sebelumnya sudah menjadi ajaran Anaximandros (filsuf sebelumnya). Dari sini, kita bisa menemukan sisi keterpengaruhan Pythagoras darinya.
Pythagoras pun mengetengahkan ajaran tentang arkhe (asas) penyusun alam semesta. Menurutnya, arkhe alam semesta adalah api (hestia) dalam bentuk tetraktys raksasa yang dikelilingi oleh kontra bumi (antikhton), bumi, bulan dll (sebanyak sembilan jagat raya). Adapun pusat jagat raya, ia sebut dengan api sentral. Prinsip dasar Pythagoras ini, memunculkan dua interpretasi. Pertama, api sentral diartikan berbeda dengan matahari, bahkan matahari sendiri turut mengelilinginya. Kedua, karena pendapat pertama sulit untuk dicerna, maka api sentral diartikan matahari, sebagai pusat jagat raya. Pendapat yang kedua ini menganut pendirian helio-sentris. Namun, gagasan ini nantinya ditentang oleh ilmuwan setelahnya, kemudian diganti dengan pendirian geo-sentris sebagai pusat jagat raya.
Kehadiran ajaran-ajaran Pythagoras, telah membuka jalan dalam kemajuan pemikiran Yunani. Dengannya, gagasan-gagasan abstrak telah mampu diaplikasikan dalam bentuk nyata. Dalam implementasinya, pemikiran Pythagoras mampu memberikan solusi terhadap persoalan—semisal dalam perdagangan—yang notabene membutuhkan penyelesaian yang lebih konkret.
Sayangnya, akhir-akhir ini—pada kenyataannya—mayoritas pelajar Indonesia, terutama masyarakat pesantren, enggan mempelajari dan menelaah matematika. Dengan alasan rumit, sulit dan terlalu banyak rumus. Teorema Pythagoras, misalnya. Padahal teori ini masih dan akan terus relevan hingga kini, seperti dalam ilmu teknik dan arsitektur. Seorang arsitektur harus menguasai matematika secara total. Walhasil, seyogianya kita mampu mengembalikan kembali citra ilmu matematika yang sejati, seperti dalam ajaran Pythagoras; matematika adalah filsafat alam semesta.
Komentar
Posting Komentar