Ajaran Sains Filsuf Pluralis



Sejak awal kemunculan filsafat Yunani, rasio telah menjadi landasan dasarnya. Sehingga membuahkan pendirian bahwasanya realitas seluruhnya itu bersifat satu; monisme. Hal ini, tentunya akan mengesampingkan segala perubahan dan pluralitas yang disaksikan oleh panca indra. Dalam artian, paham monisme telah menjadikan panca indra sebagai tumbal dari ketajaman rasio yang selama ini digandrungi oleh para filsuf Yunani—sejak zaman Thales. Terutama dalam menentukan arkhe alam semesta. Ajaran ini mulai matang di tangan Parmenides (baca artikel sebelumnya). Karena ialah yang pertama kali menguraikan ajaran ini dengan gamblang—melalui konsep ontologinya.


Argumen Parmenides kemudian dianggap ekstrem oleh sebagian filsuf setelahnya. Berangkat dari kritik ini, muncullah antitesa terhadap ajaran monisme, sebagai wujud ketidakrelaan dalam mengorbankan kesaksian pancaindra. Antitesa ini kelak akan disebut aliran pluralisme. Namun, Ketidaksepakatan mereka akan prinsip Parmenides, tidak membuat mereka meninggalkan seluruh ajarannya. Sebab pluralitas yang mereka ajukan, agaknya memiliki kesamaan di satu sisi dengan ontologi "yang ada",  yaitu kekekalan.
Kata pluralisme (pluralism) berasal dari kata pluralis yang berarti jamak. Aliran pluralisme menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi saja—tidak seperti monisme, melainkan terbentuk dari banyak substansi (majemuk). Menurut ajaran ini, substansi manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani saja, melainkan juga terdiri dari api, air, tanah dan udara yang merupakan unsur substansi dari segala wujud. Kehadiran filsuf pluralis ini pun membuat pancaindra seakan menemukan kembali ruhnya dalam dunia epistemologi filsafat Yunani.

Empedokles
Ia lahir di Akragos, pulau Sisilia pada 490 SM. Seperti filsuf pada umumnya, ia tidak hanya pandai dalam mengolah rasionya saja, melainkan juga terkenal sebagai seorang dokter, penyair retorika, ahli pidato, politikus dan juga dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu supranatural. Penyematan berbagai keterampilan terhadap diri para filsuf—sebagaimana dalam Empledokles—menunjukan bahwa mereka memang berpikir maju melampaui orang-orang lain di sekitarnya. Tak heran, jika keberadaan mereka sangat membawa pengaruh besar pada perkembangan peradaban kala itu.
Ia juga tercatat meninggalkan karya puisi yang meliputi 5000 ayat dengan bentuk syair (fragmen) dalam dua ranah. Yang pertama berjudul perihal alam (on nature) dan yang kedua berjudul penyucian-penyucian (purifications). Namun, fragmen yang masih tersisa sampai saat ini kira-kira hanya berjumlah 350 ayat dari karya pertama (ranah alam) dan 100 ayat dari karya kedua (ranah penyucian). Sebagian riwayat menjelaskan, bahwa sisa ayat yang lain hilang sebab dibakar oleh saudara perempuan Empledokes sendiri. Bencana alam seperti gunung meletus, longsor, badai dan lain-lain juga disinyalir menjadi faktor hilangnya sebagian karya para filsuf Yunani kuno.
Empedokles meninggal pada usia 60 tahun. Menurut legenda, ia meninggal dengan cara terjun ke kawah vulkano di gunung Etna, Sisilia. Hal ini dilakukan untuk membohongi pengikutnya agar percaya bahwa tubuhnya telah menghilang ke langit dan kelak akan terlahir kembali sebagai dewa. Sayangnya, salah satu sandal Empledokles tersangkut dan tidak ikut terlempar ke gunung berapi, kemudian ditemukan oleh para pengikutnya. Seketika para pengikutnya pun tersadar bahwa mereka telah dibohongi oleh Empedokles.
Dari beberapa keterangan, dijelaskan bahwa Empedokles terpengaruh terhadap kaum Pythagorean dalam ajaran tarekatnya (akusmatikoi)—yaitu mereka yang mengindahkan penyucian dan menaati semua peraturan secara saksama. Pun, jika dilihat puisi Empedokles yang berjudul penyucian-penyucian, akan menguatkan bahwa dirinya juga masih meyakini keberadaan dewa-dewa. Akan tetapi, lama kelamaan ia mulai meninggalkan ajaran tarekat Pythagorean tersebut dan lebih menyibukan diri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang disodorkan Parmenides.

Ajaran Mengenai Empat Anasir
Empedokles setuju dengan Parmenides bahwa prinsip "yang ada" dalam alam semesta itu kekal. Ia juga tidak menerima ruang kosong. Namun, ia tidak setuju jika realita seluruhnya dianggap bersifat satu, yang disebut monisme. Karena menurutnya, ajaran ini akan bertentangan dengan kesaksian pancaindra yang senantiasa menunjukan terjadinya pluralitas dan perubahan. Sehingga ia berkesimpulan bahwa realita seluruhnya tersusun dari empat anasir, yaitu api, udara, tanah dan air. Keempat anasir tersebut memiliki ciri-cirinya masing-masing—api dikaitkan dengan panas, udara dengan dingin, tanah dengan kering dan air dengan basah— yang sudah dikemukakan sejak era Anaximandros.
Kita tahu dalam pandangan filsafat kosmologi sebelumnya, bahwa telah dikemukakan tiga macam anasir menjadi prinsip alam semesta. Thales mengatakan air, Anaximenes udara—walaupun masih mencampurkan dengan kabut, dan api menurut Heraklitos. Empedokles mengambil ketiga-tiganya menjadi gabungan anasir dan ia menambahkan satu lagi, yaitu tanah. Hal ini, kiranya ia menambahkan tanah dengan tujuan untuk menyatukan paham yang sebelumnya terpisah-pisah. Pun untuk melanjutkan jalan pikiran filsafat sebelumnya yang sudah berkembang. Karena menurutnya, tanah merupakan anasir utama dari alam.
Selain ajaran mengenai gabungan anasir, prestasi penting yang telah diraih oleh Empedokles ialah konklusinya terhadap udara. Ia menemukan bahwa udara merupakan suatu anasir sendiri. Dan itu belum disadari oleh filsuf sebelumnya; Anaximenes yang masih mencampuradukkan udara dengan kabut. Hal ini menjadi sebuah komitmen dalam diri Empedokles yang patut diacungi jempol. Karena ia telah berani dan mampu melangkah jauh dalam filsafat kosmologi: penetapan keempat anasir. Yang nantinya, prinsip ini akan diambil alih oleh Plato, Aristoteles dalam puncak kematangan filsafat Yunani. Dalam tema yang sama, keempat anasir ini pun dibahas di dalam al-Quran, yang kelak menjadi lumbung ilmu pengetahuan dalam agama Islam. Tepatnya, berabad-abad setelah kehidupan Empedokles. Sebuah kebetulan yang turut menguatkan bukti keterkaitan erat antara filsafat dan agama.  
Empedokles juga berpendapat bahwa semua anasir memiliki kuantitas yang sama persis. Anasir sendiri tidak berubah, sehingga tanah tidak dapat menjadi air dan sebaliknya. Akan tetapi semua benda yang ada di alam semesta ini terdiri dari keempat anasir, walaupun komposisinya berbeda beda. Seperti tulang makhluk hidup itu tersusun dari dua bagian tanah, dua bagian air, dan empat bagian api. Ketika terjadi perubahan dalam suatu benda, akan ditentukan oleh kadar anasir yang terkandung di dalamnya.

Cinta (Philetos), Benci (Neikkos) dan Teori Pengenalan Benda
Empedokles meyakini bahwa perubahan di alam semesta tidak terjadi secara kebetulan. Namun baginya, ada kekuatan yang menggerakkan alam semesta, sehingga terjadilah perubahan di dalamnya. Yaitu kekuatan cinta dan benci. Cinta (philotes) adalah yang menggabungkan anasir-anasir, dan benci (neikkos) adalah yang menceraikan anasir-anasir. Dua prinsip inilah yang berhak mengatur perubahan dalam alam semesta. Keduanya berlawanan satu sama lain; dalam arti saling bersaing untuk menguasai alam semesta. Ia melukiskan kedua prinsip ini sebagai semacam cairan halus yang meresap kepada semua benda. Lagi lagi, ajaran Empedokles mengenai dua prinsip ini, masih penuh ambiguitas dan sulit untuk diidentifikasi. Sehingga, Empedokles dianggap belum berhasil membayangkan sesuatu yang bersifat non jasmani—yang berkaitan dengan cairan tersebut.
Dalam proses penggabungan dan penceraian itu, muncul mahluk-mahluk hidup. Secara singkat bisa dilihat dari uraian berikut.
"Sebelum ada matahari, tanah telah mengandung anasir api (panas) yang mengakibatkan munculnya tumbul-tumbuhan, yang sebelumnya masih belum terbentuk secara sempurna—semacam embrio di dalam rahim ibu. Dari tumbuhan itu berkembanglah pohon-pohon yang berdaun dan berbuah. Setelah tumbuhan, mulailah tercipta binatanag-binatang yang semula hanya berwujud dalam anggota tubuh yang terlepas satu sama lainnya. Lalu tumbuh menjadi binatang. Mengenai manusia, dikatakan bahwa semula mempunyai bentuk yang luar biasa besar. Akan tetapi kemudian meyusut menjadi manusia seperti sekarang”.
Menurut Empedokles, penyusutan ukuran tubuh manusia di atas kiranya bisa disebabkan oleh hukum yang demikian; “yang sama menarik yang sama”. Semisal, anasir tanah menarik tanah yang di luar, anasir air menarik air yang di luar. Teori ini kemudian Empedokles sebut sebagai hukum pengenalan, sehingga yang sama mengenal yang sama. Karena anasir tanah yang ada dalam diri manusia itulah, manusia bisa mengenal tanah, begitupun dengan mengenal air. Dengan alasan ini, ia berpendapat bahwa darah merupakan alat pemikir, sebab darah dianggap sebagai campuran yang sempurna dari keempat anasir.
Lalu atas dasar kedua prinsip di atas (cinta dan benci), ia menggolongkan kejadian alam semesta menjadi empat zaman. Diukur dari peran yang dominan antara cinta dan benci. Keempat zaman ini berlangsung terus-menerus, sehingga sesudah zaman keempat selesai, maka akan mulai lagi zaman pertama.
1.      Zaman pertama: cinta dominan dan menguasai segala-galanya. Alam semesta dalam keadaan ini dibayangkan sebagai suatu bola (seperti "yang ada" pada Parmenides) dimana semua anasir tercampur dengan sempurna. Dan benci dikesampingkan.
2.      Zaman kedua: benci mulai masuk untuk menceraikan anasir-anasir sampai ia menguasai. Akibatnya benda-benda dapat lenyap dan mahluk-mahluk menjadi mati. Menurut Empedokles kita hidup di zaman kedua ini.
3.      Zaman ketiga: apabila penceraian selesai, mulailah benci kembali mendominasi dan menguasai segala-galanya. Keempat anasir yang terlepas satu sama lain, merupakan empat lapisan konsentris tanah dalam pusat dan api pada permukaan. Cinta sudah dikesampingkan.
4.      Zaman keempat: sekarang cinta pada gilirannya menguasai kosmos dan kembali dominan sehingga kembali ke zaman pertama.

Penyucian-Penyucian
Ajaran ini mirip dengan tarekat Pythagorean mengenai konsep perpindahan jiwa, yang (perlu) melalui proses penyucian dengan berbagai tahapannya, agar bisa terbebas dari belenggu reinkarnasi. Empedokles pun mengandaikan sebuah penyucian.  Ia mengenalkan dirinya sebagai Daimon (semacam dewa) yang jatuh karena berdosa—sama seperti pengakuan Herakleitos yang menganggap dirinya dewa.  Ia harus menjalani tiga kali sepuluh ribu musim. Dalam masa itu pun ia harus menanggung sejumlah perpindahan jiwa yang dimulai dari tumbuh-tumbuhan, kemudian ke dalam ikan-ikan, burung-burung dan akhirnya kedalam tubuh manusia. Kalau ia sudah mampu melewati masa penyucian jiwa ini, maka ia akan kembali menjadi dewa.

Lalu, apakah ada keterkaitan atas pengakuannya sebagai seorang dewa, dengan kisah yang menceritakan bahwa ia mati melompat ke dalam gunung berapi supaya jasadnya dikira telah menghilang ke langit dan akan turun kembali sebagai seorang dewa? Atau bahkan tindakan bunuh diri yang ia lakukan itu merupakan bentuk pengorbanan, dengan tujuan menghilangkan mitos tentang dewa-dewa yang saat itu menyebar di masyarakat Yunani, sehingga ia tinggalkan sandalnya dengan unsur kesengajaan? Semua penuh misteri, selamat berfikir!

Anaxagoras
Filsuf terakhir aliran pluralisme ialah Anaxagoras. Seorang tentara Parsi yang gagah perkasa ini, dilahirkan di kota Klazomenia, Ionia sekitar 500 SM. Ia bergabung bersama tentara Parsi sebab kota kelahirannya merupakan wilayah jajahan tentara tersebut. Ia bersama rombongan tentara Parsi mendatangi Athena dan kemudian menetap di sana. Mulailah ia berkarir dan menjadi filsuf pertama yang hidup dan berkarya di Athena. Sejak itu, Athena pun menjadi lumbung filsafat Yunani dan kelak akan memainkan peranan penting dalam perkembangan filsafat sampai abad ke-2 SM.
Di Athena, ia berteman dengan Perikles, seorang politikus sekaligus jendral terkenal pada zamannya. Selain itu, disebutkan pula bahwa Eurupides, dramawan tersohor dalam kesusastraan Yunani juga menjadi teman sekaligus muridnya. Ketika Perikles telah berusia lanjut, musuh-musuh politiknya berhasil memfitnah Anaxagoras dengan tuduhan kedurhakaan dan simpati terhadap bangsa Parsi, hingga ia diancam hukuman mati.
Dalam Apologia, Plato menjelaskan bahwa suatu ketika ia dituduh mengajarkan bahwa matahari dan bulan semata-mata sebagai benda material saja, bukan dewa seperti yang diyakini masyarakat Yunani saat itu. Dengan pertolongan Pirekles, ia berhasil bebas dan melarikan diri ke kota Lampsakos dan mengakhiri hidupnya di sana pada usia 72 tahun.

Ajaran Mengenai Benih-Benih (spermata)
Spermata merupakan istilah dalam ajaran Anaxagoras yang menyatakan bahwa prinsip dasar alam semesta ini jumlahnya tak terhingga—“segalanya terdapat dalam segalanya”. Berbeda dengan Empedokles yang menganggap jika kita membagi materi, maka akan terbentur pada empat anasir saja. Misalnya air tidak dapat dibagi lagi menjadi anasir lain.
Sedangkan Anaxagoras menganggap materi dapat dibagi-bagi sampai tak terhingga,  tetapi—betapapun kecilnya bentuk materi—semua kualitas terdapat di dalamnya. Dia menganalogikan dengan tulang, yang juga di dalamnya ada darah, daging, kuku dan seterusnya. Dengan demikian, Anaxagoras menganggap bahwa realitas seluruhnya sebagai suatu campuran dari benih-benih, tetapi porsinya berbeda-beda. Ajaran benih-benih, nampaknya menunjukkan bahwa sosok Anaxagoras lebih konsekuen dan dan prinsipiel dari pada Empedokles—jika mengkomparasikan kedua ajaran mereka melalui pendekatan panca indra.

Ajaran Mengenai “Nus
Sebelumnya, kita telah menelaah pandangan Empedokles mengenai prinsip cinta dan benci yang menyebabkan perubahan pada empat anasir. Nah, dalam hal ini kita akan menelaah pemikiran Anaxagoras yang hanya menerima satu prinsip saja, yang menyebabkan benih-benih berubah menjadi susunan kosmos, yaitu Nus yang berarti roh atau akal. Nus ini tidak tercampur dengan benih dan terpisah dari semua benda. Nus juga mengenal segala sesuatu dan menguasainya.
Melalui Nus ini, Anaxagoras berhasil menemukan berbagai gagasan filosofis baru dalam filsafat Yunani. Di antaranya penyematan bahwa Anaxagoraslah orang pertama yang membedakan antara "yang rohani" dengan "yang jasmani".  Karena ia mengabstraksikan bahwa Nus merupakan unsur yang paling halus dan paling murni dari semua entitas yang ada.

Ada dua pokok ajaran penting lainnya yang dimiliki oleh Anaxagoras. Pertama, ia menganggap bahwa badan jagad raya merupakan batu-batu yang berpijar akibat kecepatan tinggi dari pusaran angin yang menggerakkannya. Inilah yang menyebabkannya masuk meja hijau, karena telah dianggap menghina dewa-dewa. Mungkin pendiriannya ini telah dipengaruhi oleh kejadian jatuhnya meteor raksasa di Aigospotamio pada tahun 468 SM. Kedua, Anaxagoras merupakan filsuf pertama yang membedakan secara jelas antara makhluk yang hidup dan yang mati. Makhluk—termasuk tumbuhan—yang masih ada Nus di dalam dirinya berarti dia hidup, jika tak ada maka ia dianggap telah mati.
Dengan demikian, kehadiran ajaran-ajaran Anaxagoras telah membuka jalan dalam kemajuan pemikiran Yunani. Di samping gagasan-gagasan abstrak telah mampu diaplikasikan dalam bentuk nyata, dengannya gagasan mengenai makhluk yang hidup dan yang mati mampu dibedakan—dengan teori Nus.   
Dari seluruh pemaparan di atas, nampak bahwa kedua tokoh filsuf tersebut mempunyai inovasi brilaian pada zamannya. Inovasi inilah yang kelak akan menyokong perkembangan sains pada masa setelahnya. Teori mengenai keempat anasir ini akan diambil alih oleh Plato, Aristoteles dan akan menjadi teori yang terus dipakai sampai awal abad modern.
Anaxagoras dengan teori Nus-nya, mampu membedakan 'yang hidup' dengan 'yang mati' secara gamblang untuk pertama kalinya. Badan jagad raya yang ia abstraksikan sebagai batu-batu yang berpijar, mengikis mitologi bangsa Yunani secara perlahan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Xenophanes dan Herakleitos; Antara Agama dan kompleksitas Kehidupan

Ontologi Mazhab Elea; Embrio Rasionalisme Filsafat Yunani