Ontologi Mazhab Elea; Embrio Rasionalisme Filsafat Yunani



Dalam terma filsafat Yunani, rasionalitas merupakan ciri yang merepresentasikan makna dari ‘logos’. Proses peralihan peradaban dari mitos ke logos merupakan faktor primer yang menentukan arah filsafat, sekaligus sebagai upaya revolusi ilmiah di dalam dunia intelektualitas Yunani. Oleh sebab itu, logos tidak bisa dimaknai sesederhana apa yang kita bayangkan dengan ‘pengetahuan-pengetahun rasional’ ketika logos dimaknai rasio. Namun, rasionalisme sejak kemunculannya, telah memiliki makna universal yang tidak hanya mencakup dimensi epistemologis saja.
Mula-mula para filsuf Yunani mendasarkan rasionalitas sebagai sebuah konsep dalam pembahasan ontologis; sebuah penafsiran nalar tentang yang ‘ada’ dan ‘tidak ada’ secara konseptual-sistematik. Yang mana sebelumnya, ajaran tentang perubahan, pluralitas, serta bahwa alam semesta terdiri dari hal-hal yang berlawanan telah matang di tangan beberapa filsuf : Anaximandros, Pythagoras dan Heraklitos. Ajaran ini pun—perubahan, pluralitas, dan pertentangan, telihat lebih matang dan kental dalam sosok Heraklitos. Sehingga menurutnya, tidak ada sesuatu di dunia ini yang benar-benar ‘ada’, semuanya ‘menjadi’.
          Dalam ulasan singkat ini, kita akan membedah gagasan tiga tokoh yang tidak sejalan dengan pendirian Herakleitos. Mereka adalah Parmenides, Zeno, dan Mellisos. atau yang disebut filsuf mazhab Elea.

Parmenides
Filsuf pertama mazhab Elea ini lahir di kota Elea, Italia Selatan pada 515 SM. Atas dasar tersebut, ia beserta muridnya Zeno dan Mellisos masuk pembahasan Mazhab Elea dalam sejarah filsafat Yunani.
Sebagaimana lumrahnya filsuf Yunani kala itu, Parmenides tidak membuahkan sebuah karya apapun, kecuali amsal-amsal atau fragmen berupa syair, yang dengan itu ajarannya bisa diketahui. Parmenides memiliki sebuah syair yang terbagi menjadi dua bagian: pertama, Jalan Kebenaran. Kedua, Jalan Pendapat. Untuk kedua istilah ini, Prof. Dr. K. Bertens dalam buku Sejarah Filsafat Yunani, hanya berusaha meminjam terjemahan Bahasa Indonesia yang lebih sederhana untuk dipahami.
Dalam ‘Jalan Kebenaran’, Parmenides merumuskan ajaran intinya tentang sebuah konsep dasar pengetahuan—dengan meminjam istilah ontologis. Yang bertujuan mengkritik ajaran filsuf sebelumnya, Herakleitos. Sebab ia mengatakan bahwa segala yang ada di dunia ini tidak ada yang benar-benar ‘ada’, semuanya ‘menjadi’. Dengan artian, menurutnya dunia akan senantiasa mengalami perubahan. Sehingga gerak, perubahan, dan pluralitas adalah keniscayaan yang tidak bisa diingkari olehnya. Namun, Parmenides berbeda dengannya. Menurut Parmenides, seluruh realitas itu satu dan tidak bergerak. Baginya "yang ada itu ada" (What is, is) itulah kebenaran.
Untuk memperkuat argumen tersebut, Parmenides memberikan prinsip berupa pengandaian meliputi dua hal: pertama, orang bisa mengatakan yang "ada" itu “tidak ada”. Kedua, orang bisa mengatakan yang "ada" serentak "ada" dan "tidak ada". Tetapi kedua pengandaian ini sama-sama mustahil menurut Parmenides. Logika dari dua pengandaian tersebut tidak dapat diterima, sebab "yang ada" itu ada dan "yang tidak ada" itu tidak ada. Yang “ada” tidak bisa dikatakan “tidak ada” karena "yang tidak ada" itu tidak ada, ia tidak terpikirkan dan tidak dapat dibicarakan. Kemudian "yang ada" tidak bisa serentak “ada” dan “tidak ada”, sebab tidak ada jalan tengah di antara keduanya. Kesimpulan yang bisa diambil kemudian adalah "yang ada" itu ada, dan itulah satu-satunya kebenaran menurut Parmenides.
Dengan pendirian yang terkesan sederhana di atas, Parmenides ingin menekankan lebih mendasar dan prinsipil akan logika keber-ada-an dan ke-tiada-an. Yang kemudian ia detailkan dalam sifat-sifat, dan konsekuensi dari "yang ada", yang ia sebut sebagai satu-satunya kebenaran:

1.      Yang “ada” adalah satu dan tak terbagi. Sehingga tidak mungkin terjadi pluralitas di dalamnya.
2.      Yang “ada” bersifat kekal dan tidak terubahkan. Karena seandainya ada perubahan, maka bisa jadi "yang ada" menjadi "yang tidak ada", ataupun sebaliknya.
3.      Kemudian konsekuensi dari kedua poin di atas, harus dikatakan bahwa "yang ada" itu sempurna. Dengan maksud, tidak perlu ada penambahan atau pengurangan dari "yang ada" tersebut. Parmenides menggambarkan poin ini dengan sebuah abstraksi "bagaikan bola yang jaraknya dari pusar ke permukaan, adalah sama". "Yang ada" itu bulat, sehingga ia mengisi semua tempat.
4.      Karena "yang ada" mengisi segala tempat, bisa ditarik kesimpulan menurut parmenides tidak ada ruang kosong. Sebab, menerima ruang kosong berarti menerima juga bahwa di luar "yang ada" itu masih ada sesuatu yang lain. Sehingga gerak tidak menemukan ruang di sini, dan tidak akan terjadi.

Selain mengetengahkan konsep ontologis, Parmenides juga membahas kosmologi sebagaimana filsuf alam sebelumnya. Ajaran kosmologinya bisa diketahui melalui fragmen ‘Jalan Pendapat’. Namun, Parmenides tidak membahas filsafat kosmos secara detail seperti yang dilakukan para filsuf alam. Ia hanya mengatakan bahwa jalan ini merupakan jalan kesesatan jika dilalui makhluk insani. Barangkali, Parmenides bermaksud bahwa pandangan atas kosmos (secara empiris) itu bukanlah ukuran yang benar bagi pengetahuan manusia.
Kosmologi yang diuraikan dalam bagian syair ini, bersandar pada dua prinsip, yaitu yang gelap dan yang terang. Jadi, dalam bidang kosmologi, Parmenides pun turut mengakui prinsip berlawanan—seperti para pendahulunya (Heraklaitos dan Anaximandros). Bahkan, bisa disinyalir dalam ‘Jalan Pendapat’, Parmenides mengandaikan adanya perubahan dan pluralitas. Yang sebaliknya, menurut ‘Jalan Kebenaran’ perubahan dan pluralitas tidak mungkin.
Dari kedua ajaran ini–terutama di bagian ‘Jalan Kebenaran’, Parmenides berhasil mengangkat corak baru dalam nalar filsafat Yunani (pra-Sokratik). Yang sekaligus melapangkan jalan bagi filsuf-filsuf setelahnya. Dengan kerangka ontologis ‘ada’ dan ‘tidak ada’ miliknya, ia telah memperjelas pemetaan epistemologi pengetahuan dalam filsafat Yunani. Yaitu keberhasilannya dalam membedakan antara pengetahuan rasional dan pengetahuan indrawi (empiris).
Dalam ‘Jalan Kebenaran’, pendapatnya didasarkan pada rasio. Sehingga di dalamnya tidak akan terjadi gerak, perubahan dan pluralitas. Sementara dalam ‘Jalan Pendapat’ yang berpihak pada indrawi, rupanya perubahan dan pluralitas dapat diakui keniscayaannya oleh Parmenides. Selain itu, boleh dikatakan bahwa ia menemukan terma metafisika, cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang "yang ada".

Zeno
Lahir di Elea sekitar tahun 490 SM. Kehidupannya ia abdikan untuk menjadi murid Parmenides, sehingga filsafatnya lebih banyak bersifat menguatkan atas ajaran Parmenides. Dengan kata lain, mereka berdua sama-sama menolak keberadaan pluralitas, perubahan, dan ruang kosong yang menjadi keniscayaan dalam ajaran Herakleitos.

          Aristoteles mengatakan bahwa Zeno menemukan dialektika, meski kelak istilah ini muncul dengan pelbagai penafsiran. Makna yang dimaksud Aristoteles adalah suatu cabang logika yang mempelajari perihal argumentasi yang bertitik tolak dari suatu hipotesis atau pengandaian. Memang benar, dalam ajarannya, Zeno memakai dialektika ini sebagai argumentasi melawan ajaran Herakleitos.
          Pertama-tama ia memunculkan argumentasi untuk menolak keberadaan ruang kosong. Sebagaimana menurut Parmenides bahwa yang ‘ada’ itu bulat, dan memenuhi seluruh bagian, sehingga tidak ada tempat untuk adanya ruang kosong. Hal ini pun diamini oleh Zeno, menurutnya andaikan ruang kosong itu ada, niscaya ruang itu mempunyai tempatnya dalam ruang lain, yang harus ditempatkan dalam ruang lain lagi dan seterusnya sampai tak terhingga. Hal ini juga diperkuat lagi dengan melihat maksud dari Parmenides dalam pernyataannya bahwa ‘yang ada’ tidak ditempatkan dalam suatu yang lain.
          Dengan lebih sederhana, kita bisa memahami maksud dari ‘ruang kosong’ dalam pemikiran Zeno, dengan menganalogikannya sebagai sebuah lingkaran. Andaikan lingkaran itu ada, maka ia harus ditempatkan pada lingkaran lain yang lebih besar, kemudian lingkaran itu bertempat dalam lingkaran yang lebih besar lagi, hingga seterusnya. Dengan analogi ini, kita bisa menerka maksud dari ruang kosong tersebut mirip dengan keberadaan angkasa. Di dalamnya ada berlapis-lapis langit yang berurutan secara horizontal. Lapisan dari langit pertama ditempatkan di langit kedua, hingga seterusnya sampai langit ke tujuh (seperti dalam pelajaran sains modern).
          Yang kedua adalah argumen melawan pluralitas yang berarti kemajemukan di alam semesta. Jika kemudian pluralitas diyakini ada, maka akan meniscayakan terjadinya perubahan yang ditolak oleh gurunya, Parmenides. Zeno menggambarkan argument tersebut dalam sebuah garis, jika kita membayangkan garis itu terdiri dari titik-titik—dalam arti jika pluralitas diterima— yang kemudian bersatu dalam garis lurus. Maka setiap dari potongan garis itu harusnya dapat dibagi-bagi. Karena dari setiap bagian pasti memiliki dua titik (pangkal dan akhir), maka bagian itu masih bisa dibagi sampai tak terhingga. 
          Yang ketiga adalah argumentasi melawan gerak. Dalam hal ini Zeno memberikan tiga macam argumen lagi. Untuk mengetahui ajarannya ini, sejarawan banyak merujuk pada Aristoteles. Pertama  digambarkan seorang pelari dalam stadion.  Ketika ia ingin mencapai finis, terlebih dulu ia harus melewati jarak stadion. Lalu setengah sisanya, hingga demikian terus menerus sampai tak terhingga. Dan karena ketakberhinggaan itu, ia tidak akan mencapai finis. Maksudnya adalah  menurut Zeno ketika larinya ‘pelari’ tersebut kita pahami sebagai gerak, maka akan meniscayakan ketidakberhinggaan jarak yang membuat pelari tidak akan mencapai finis.
          Selanjutnya adalah perlombaan lari antara Akhilles dan kura-kura. Menurut mitologi Yunani, Akhiles adalah binatang yang jago lari. Namun ia tidak dapat melewati kura-kura, binatang yang paling lambat, betapapun cepat ia berlari. Karena kura-kura berangkat sebelum Akhiles, maka lebih dahulu Akhiles harus mencapai  titik di mana kura-kura berada saat pertama melangkah. Namun setelah Akhiles telah tiba di titik itu, kura-kura sudah lebih jauh lari dan seterusnya. Meski jarak antara kura-kura dan Akhiles semakin berkurang, akan tetapi jarak itu tidak akan pernah habis menurut Zeno.
          Macam yang ketiga bisa digambarkan pada sebuah anak panah yang telah dilepaskan dari busurnya. Sejauh apapun anak panah itu melesat, menurut Zeno tidak dalam keadaan bergerak, melainkan diam. Karena tiap kali ia berada pada tempat tertentu, yang persis sama dengan panjangnya. Ia selalu berada antara kedua ujungnya dan karena itu ia senantiasa diam. Sampai ia berada di tempat manapun berhenti, dan lebih jauh, menurut Zeno yang kita lihat adalah gerak semu, yang tidak lain dari pada suatu seri perhentian-perhentian.

Melissos
          Tidak banyak ajaran yang dikemukakan oleh filsuf yang terakhir ini. Mellisos juga merupakan murid Parmenides sebagaimana Zeno, sehingga sebagian besar ajarannya diperuntukkan untuk membela Parmenides, serta mengokohkannya. Ketika Parmenides memberikan abstraksi bahwa yang ‘ada’ itu tidak berhingga pada tempatnya, dalam artian ia tidak membatasinya pada suatu tempat tertentu. Mellisos lebih menekankan lagi, bahwa yang ‘ada’  itu satu. Hinga terkadang ia menyebutnya dengan ‘yang satu’.
          Meski Mellisos mengokohkan gurunya, namun ia tidak sepakat dengan salah satu ajaran Parmenides dalam menyifati konsekuensi dari ‘yang ada’. Yaitu saat Parmenides menyifati ‘yang ada’ hanya tidak berhingga menurut tempatnya saja, Mellisos melihat celah dalam ajaran ini yang memungkinkan keberadaan ruang kosong. Seandainya ‘yang ada’ itu berhingga dalam tempatnya, maka di luar ‘yang ada’ terdapat ‘yang tidak ada’. Itupun sama saja menafsirkan bahwa “yang tidak ada” itu ada. Dengan kata lain, menurut Mellisos kita tidak dapat membayangkan keberadaan “yang ada” sebagai berhingga tanpa meletakkannya dalam ruang kosong.
Dengan ajaran ini, terlihat Mellisos begitu kritis dalam melihat konsekuensi setiap ajaran Parmenides. Ia mampu menerka kemungkinan apa yang akan terjadi jika Parmenides mengemukakan demikian. Oleh sebab itu kehadiran Mellisos, selain mengokohkan ajaran Parmenides, ia pun lebih konsekuen atas pendirian Parmenides terutama dalam ajaran ‘Jalan Kebenaran’
          Filsafat selanjutnya akan bergulat dengan problem-problem yang dikemukakan oleh Parmenides, yaitu bagaimana kesaksian rasio dapat sesuai dengan data-data pengetahuan indrawi. Keberhasilan Parmenides dalam memersepsikan bagaimana hukum rasio yang benar dalam menelaah suatu pengetahuan adalah prestasi yang luar biasa. Di mana sebelumnya, kehadiran Herakleitos telah merepresentasikan corak nalar empiris-realistis, kemudian datang Parmenides beserta muridnya membawa corak nalar yang sebaliknya; rasional-idealistis. Yang secara positif telah melengkapi khazanah dan dinamika ilmiah filsafat Yunani.
Barulah ketika datang masa keemasan Yunani, Plato dan Aristoteles berhasil memecahkan problem pertentangan antara hukum rasio dengan data-data realistis. Sehingga lahir dari keduanya: mazhab idealisme dan realisme. Namun tidak selesai di masa itu, kedua mazhab ini kelak akan melahirkan perdebatan panjang, serta pergulatan identitas sengit untuk mecari sumber kebenaran hakiki.
Idealisme Plato yang merupakan pematangan dari ajaran tentang ‘ada’ Parmenides, ontologi yang menampilkan akal sebagai sumber satu-satunya. Ialah yang memiliki otoritas mutlak dalam mengukur keabsahan pengetahuan hakiki akan segala sesuatu. Sehingga dalam praksisnya, pendirian ini memersepsikan “Ide-idelah yang akan mengubah realitas”. Masa depan seseorang akan diukur pada bagaimana idealisme dan pandangan progresifnya, yang kelak akan menjadi nyata, menjadi realitas sesuai yang telah dibayangkan.
Namun, semangat ini ternyata akan menghadapi hambatan. Saat realitas tidak sesuai dengan harapan. Ide-ide yang sempat menjulang tinggi tiba-tiba dipaksa jatuh, lalu habis tenggelam di dalam jurang kenyataan. Pada pihak ini, realisme menjadi raja. Bahwa baginya kebenaran berbicara sebaliknya: “kenyataan yang akan melahirkan ide-ide”. Aristoteles akan mematangkan realisme ini; penggabungan akan ide dengan realitas. Lagi-lagi perdebatan tentang ini akan melahirkan banyak perspektif yang sukar diperdamaikan. Yang meruncing pada satu pertanyaan; mana yang didahulukan antara ide dan realitas?     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Xenophanes dan Herakleitos; Antara Agama dan kompleksitas Kehidupan

Ajaran Sains Filsuf Pluralis